Translate

Jumat, 04 November 2016

Makalah mata kuliah Biologi Laut



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 18.306 dan garis pantai terpanjang nomor empat di dunia, yaitu sepanjang 95.181 km. Populasi penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir mencapai 161 juta jiwa atau 60% dari 250 juta penduduk Indonesia. Pusat perkembangan ekonomi juga berkembang di kawasan pesisir. Sayangnya, tingkat pendidikan dan kesejahteraan populasi penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir dan pulau kecil merupakan yang terendah.
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mempunyai sumber daya hayati yang tinggi. Kontribusi sumberdaya hayati pesisir saat ini terbanyak untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat dari perikanan pesisir dan laut. Kebijakan pengembangan ekonomi padat karya dan berbasis bahan baku serta ekstraktif, menimbulkan kerusakan kawasan pesisir dan pulau kecil akibat kegiatan penambangan mineral, bahan baku konstruksi, reklamasi untuk infrastruktur baru, budidaya perikanan pesisir dan lain-lain. Kegiatan ini sangat mengancam kelestarian dan daya dukung hutan pesisir mangrove, terumbu karang, serta pulau pulau kecil yang merupakan sumber kehidupan masyarakat pesisir sejak lama.
Melihat proyeksi ancaman potensial masa depan serta potensi keragaman hayati yang besar di kawasan pesisir, suatu strategi pendekatan program dengan upaya dukungan kepada masyarakat untuk berdaya dalam mengelola kawasan ekosistem pesisir pulau kecil perlu diambil. Pengembangan program ketahanan dan diversifikasi pangan menjadi sangat krusial mengingat sumber tradisional protein hewani dari hasil perikanan merupakan sumber pangan yang murah dan melimpah. Pemanfaatan sumber pangan baru dari berbagai sumber daya pesisir yang belum tergali dan bernilai tinggi seperti golongan crustacea, molusca, vertebrata serta vegetasi mangrove, nipah dan sagu perlu digali dan dikembangkan dengan menggunakan tehnologi dan sains.
Selain berpotensi mengembangkan sumber pangan baru, kawasan pesisir juga menyediakan potensi sumber energi terbaharukan dari biomassa mangrove, produk turunan sagu dan nira nipah yang dapat diolah menjadi bioetanol yang melimpah dan siap dimanfaatkan. Hutan pesisir banyak ditumbuhi berbagai jenis species mangrove, bersama dengan hamparan nipah dan sagu yang sangat luas selama ini masih terbatas pemanfaatannya, sehingga dianggap kurang bermanfaat dan cenderung dialihfungsikan menjadi peruntukan lain. Berbagai potensi bahan kimia dari hasil metabolisme organism laut dapat diekstrak dan disintesa untuk dikembangkan menjadi antibiotika, serta substansi dengan properti anti inflamasi dan anti kanker yang selama ini belum bisa dibuat oleh manusia. Dalam konteks meningkatkan kesehatan dan gizi masyarakat, sumber daya laut merupakan komoditi yang beragam, melimpah dan murah.
Ekosistem pesisir dan pulau kecil diciptakan sangat ideal untuk melindungi kawasan tersebut dari ancaman. Hutan sagu, nipah dan mangrove merupakan filter alami penyaring sedimentasi dari darat sehingga melindungai kawasan lamun dan terumbu karang yang rentan terhadap sedimentasi dari kerusakan. Sebaliknya, ancaman intrusi air laut ke darat juga bisa disaring oleh ekosistem hutan mangrove, nipah dan sagu pesisir, sehingga sumber air bersih sumur masyarakat, lahan pertanian dan sawah di pesisir yang merupakan sumber kehidupan masyarakat tidak terganggu.

1.2.  Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui keadaan ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan estuari khususnya di  Indonesia. Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan pengetahuan tambahan bagi mahasiswa mengenai  keadaan ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan estuari khususnya di Indonesia.











BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian, Cara Reproduksi dan Cara Hidup Terumbu Karang
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi.
            Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentu.Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesiestumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui.
            Terumbu karang secara umum dapat dinisbatkan kepada struktur fisik beserta ekosistem yang menyertainya yang secara aktif membentuk sedimen kalsium karbonat akibat aktivitas biologi(biogenik) yang berlangsung di bawah permukaan laut. Bagi ahli geologi, terumbu karang merupakan struktur batuan sedimen dari kapur (kalsium karbonat) di dalam laut, atau disebut singkat dengan terumbu. Bagi ahli biologi terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dibentuk dan didominasi oleh komunitas koral. Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral Kerangka karang mengalami erosi dan terakumulasi menempel didasar terumbu.
            Terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang. Ekosistem terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, Eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 °C diatas suhu normal.
            Untuk dapat bertumbuh dan berkembang biak secara baik, terumbu karang membutuhkan kondisi lingkungan hidup yang optimal, yaitu pada suhu hangat sekitar di atas 20oC. Terumbu karang juga memilih hidup pada lingkungan perairan yang jernih dan tidak berpolusi.Hal ini dapat berpengaruh pada penetrasi cahaya oleh terumbu karang. Beberapa terumbu karang membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan kegiatan fotosintesis. Polip-polip penyusun terumbu karang yang terletak pada bagian atas terumbu karang dapat menangkap makanan yang terbawa arus laut dan juga melakukan fotosintesis. Oleh karena itu, oksigen-oksigen hasil fotosintesis yang terlarut dalam air dapat dimanfaatkan oleh spesies laut lainnya.Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik).
            Proses fotosintesis oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:
Ca(HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2
Fotosintesis oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Di Indonesia dan Indo Pasifik terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut, disamping hutan bakau atau hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia. Contohnya adalah ekosistem terumbu karang di perairan Maluku dan Nusa Tenggara.
Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang Dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska terdapat pada regional Indo-Pasifik yang terbentang mulai dari Indonesia sampai ke Polinesia dan Australia lalu ke bagian barat yaitu Samudera Pasifik sampai Afrika Timur.
2.2. Pengertian dan Ciri-Ciri Hutan Mangrove
            Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugis) dan grove (English). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan bakau. Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir pantai di daerah tropis & sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.
            Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang keduanya bersatu di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Pada hutan mangrove: tanah, air, flora dan fauna hidup saling memberi dan menerima serta menciptakan suatu siklus ekosistem tersendiri. Hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga).
            Hutan mangrove sangat berbeda dengan tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan subtropis, ia dapat dikatakan merupakan suatu hutan di pinggir laut dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Akarnya, yang selalu tergenang oleh air, dapat bertoleransi terhadap kondisi alam yang ekstreem seperti tingginya salinitas dan garam. Hal ini membuatnya sangat unik dan menjadi suatu habitat atau ekosistem yang tidak ada duanya.
Kita sering menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove. Istilah ‘mangrove’ digunakan sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya.
            Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.  Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut.  Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.  Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae.  Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura.
            Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman lain. Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara “coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans.
            Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :
  • Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
  • Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
  • Memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora;
  • Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
            Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus ekosistem mangrove, diantaranya adalah :
  • Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama;
  • Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
  • Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
  • Airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin.
2.3. Pengertian dan Macam-Macam Lamun
Lamun adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk tumbuhan sejati karena sudah dapat dibedakan antara batang, daun, dan akarnya. Secara umum gambaran lamun yaitu seperti padang rumput di daratan, lamun sangat berguna dalam hal pembersihan lautan karena lamun berfotosintersis.
Hal menarik yang dapat kita lihat bahwa padang lamun atau yang di kenal dengan seagrass bukan hanya sebagai tempat mencari makan bagi duyung dan manate tapi juga tempat hidup yang sangat cocok bagi beberapa organisma kecil seperti udang dan ikan. Bahkan penyu hijau (Chelonia mydas) pun sering mengunjungi padang lamun untuk mencari makan.  Lantas mengapa padang lamun bisa menjadi tempat yang cocok bagi umumnya hewan kecil ?.  Kondisi lamun yang menyerupai padang rumput di daratan ini mempunyai beberapa fungsi ekologis yang sangat potensial berupa perlindungan bagi ivertebrata dan ikan kecil.  Daun-daun lamun yang padat dan saling berdekatan dapat meredam gerak arus, gelombang dan arus materi organik yang memungkinkan padang lamun merupakan kawasan lebih tenang dengan produktifitas tertinggi di lingkungan pantai di samping terumbu karang.  Melambatnya pola arus dalam padang lamun memberi kondisi alami yang sangat di senangi oleh ikan-ikan kecil dan invertebrata kecil seperti beberapa jenis udang, kuda laut, bivalve, gastropoda dan echinodermata.  Hal terpenting lainnya adalah daun-daun lamun berasosiasi dengan alga kecil yang dikenal dengan epiphyte yang merupakan sumber makanan terpenting bagi hewan-hewan kecil tadi.  Epiphyte ini dapat tumbuh sangat subur dengan melekat pada permukaan daun lamun dan sangat di senangi oleh udang-udang kecil dan beberapa jenis ikan-ikan kecil.  Disamping itu padang lamun juga dapat melindungi hewan-hewan kecil tadi dari serangan predator. Sangat khas memang pola kehidupan hewan-hewan kecil ini di padang lamun yang tidak jarang memberikan konstribusi besar bagi kelangsungan ikan dan udang ekonomis penting.  Ini adalah sebagian kecil dari peran penting padang lamun yang menyebar di sekitar perairan pantai Indonesia. 
Padang lamun menyebar hampir di seluruh kawasan perairan pantai Indonesia.  Anda akan sangat mudah mengenali tumbuhan ini.  Padang lamun biasanya sangat mirip dan bahkan menyerupai padang rumput di daratan dan hidup pada kedalaman yang relative dangkal (1-10 meter) kecuali beberapa jenis seperti Halodule sp., Syringodium sp. dan Thalassodendrum sp., yang juga di temukan pada kedalaman sampai dengan 20 meter dengan penetrasi cahaya yang relative rendah. Malah pernah dilaporkan jenis Halophila yang di temukan pada kedalaman 90 meter oleh Taylor (1928) yang ditulis dalam Den Hartog (1970).  Namun umumnya sebagian besar padang lamun menyebar pada kedalaman 1 – 10 meter. Di beberapa perairan dangkal, kita dapat menyaksikan padang lamun dengan kepadatan yang cukup tinggi yang memberikan kesan hijau pada dasar perairan. 
Untuk tipe perairan tropis seperti Indonesia, padang lamun lebih dominant tumbuh dengan koloni beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu yang berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang kebanyakan di dominasi oleh satu jenis lamun (single species).  Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut.  Anda bisa saja menjumpai lamun yang terekspose oleh sinar matahari saat surut di beberapa pantai atau melihat bentangan hijau yang didalamnya banyak ikan-ikan kecil saat pasang.  Jenisnya pun beraneka ragam, yang di pantai Indonesia sendiri, kita bisa menjumpai 12 jenis lamun dari sekitar 63 jenis lamun di dunia dengan dominasi beberape jenis diantaranya Enhalus acoroides, Cymodocea spp, Halodule spp., Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Thallasia hemprichii and Thalassodendron ciliatum. Dan saya percaya kawasan perairan Indonesia yang sangat luas mempunyai jenis lamun yang lebih dari perkiraan beberapa lembaga penelitian.  Sampai kini konsentrasi penelitian terhadap jenis-jenis lamun dan ekosistem lamun belum sepenuhnya terlaksana. Kurangnya minat beberapa peneliti untuk lebih fokus kearah padang lamun dan minimnya dana penelitian yang di alokasikan ke sektor ini serta minimnya publikasi mengenai padang lamun merupakan penghambat utama bagi pengetahuan dan pemahaman tentang padang lamun kepada masyarakat sementara masyarakat sebagian besar belum sepenuhnya tahu dan mengerti tentang habitat yang satu ini.  Padahal kalau mau jujur masysrakat pantai khususnya banyak sekali tergantung pada habitat ini, yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi terhadap kebutuhan sehari-hari mereka.  Kita mungkin tidak menyadari kalau menurunnya produksi beberapa jenis ikan-ikan dan udang-udang pantai ekonomis Indonesia lebih banyak karenakan semakin menipisnya padang lamun yang merupakan habitat alami dari ikan-ikan pantai seperti ikan berinang (Siganus spp.) atau beberapa udang putih (Penaeus spp.) lainnya.
            Terlalu jauh kalau kita mengharapkan bisa sering melihat dugong bermain kembali di sekitar pantai Indonesia, yang padang lamunnya seudah semakin memprihatinkan, oleh pola reklamasi pantai yang sangat marak dan degradasi pantai yang sudah sangat ramai. Namun mungkin kita masih bisa melihat beberapa jenis ikan-ikan kecil bermain dengan cantiknya dibeberapa pantai yang masih terjaga padang lamunnya (© Ma’ruf Kasim). 
      2.4. Pengertian Estuaria
Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Secara sederhana estuaria didefinisikan sebagai tempat pertemuan air tawar dan air asin (Nybakken, 1988). Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut.
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Bengen, 2002, Pritchard, 1976). Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilakan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi (Supriharyono, 2000), antara lain:
1.   Tempat bertemunya arus air dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
2.  Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika   lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun air laut.
3.   Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
4.   Tingkat kadar garam didaerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.
            Estuaria dapat diklasifikasikan berdasarkan pada karakteristik, diantaranya:
1.   Geomorfologis: lembah sungai tergenang, estuaria jenis fyord, estuaria bentukan tanggul dan estuaria bentukan tektonik.
a.   Estuaria daratan pesisir, paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai bagian pantai yang landai
b.   Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup, terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut.
c.   Fyords, merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glester yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut
d.   Estuaria tektonik, terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan     gunung berapi), yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang.
2.  Sirkulasi dan stratifikasi air:
a.  Stratifikasi tinggi atau estuaria baji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas   antara air tawar dan air asin
b.  Tercampur sebagian merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuaria ini aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran ini dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang surut.
c. Tercampur sempurna. Estuaria jenis ini terjadi di lokasi-lokasi dimana arus     pasang-surut sangat dominan dan kuat. Berdasarkan  salinitas ( kadar garamnya ), estuaria dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
·         Oligohalin yang berkadar garam rendah (0,5% – 3 %)
·         Mesohalin yang berkadar garam sedang (3% – 17 %)
·         Polihalin yang berkadar garam tinggi, yaitu diatas 17 %














BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini antara lain adalah:
1.  keberadaan terumbu karang di dunia khususnya di indonesia mulai terancam. Di  indonesia persentase perusakan terumbu karang tiap tahunnya menunjukan kenaikan yang signifikan, dalam kurun waktu 4 tahun (2004-2008) 34% terumbu karang di indonesia berkondisi sangat buruk, dan ironisnya hanya 3 % terumbu karang yang dalam keadaan sangat baik.
2.  Ancaman utama terhadap terumbu karang adalah pembangunan daerah pesisir, polusi laut, sedimentasi dan pencemaran dari darat, overfishing (penangkapan sumberdaya berlebih), destruktif fishing (penangkapan ikan dengan cara merusak), dan pemutihan karang ( coral bleaching ) akibat pemanasan global.
3.  Hutan mangrove sangat berbeda dengan tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan subtropis, ia dapat dikatakan merupakan suatu hutan di pinggir laut dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Akarnya, yang selalu tergenang oleh air, dapat bertoleransi terhadap kondisi alam yang ekstreem seperti tingginya salinitas dan garam. Hal ini membuatnya sangat unik dan menjadi suatu habitat atau ekosistem yang tidak ada duanya.
4.  Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas  dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Dengan kondisi lingkungan fisik yang bervariasi dan merupakan daerah peralihan antara darat dan laut, estuaria mempunyai pola pencampuran air laut dan air tawar yang tersendiri.
3.2.  Saran
Adapun saran yang dapat saya berikan antara lain adalah sebagai berikut:
1.  Sebagai mahasiswa diharapkan kita dapat peduli terhadap lingkungan diantaranya yaitu dengan melestarikan ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun dan estuary serta tidak merusaknya hanya untuk kepentingan semata sehingga fungsi dari ekosistem tersebut di Indonesia tetap terjaga.
2. Dalam pembahasan di makalah ini, masih banyak kekurangan, sehingga  diharapkan pembaca mampu mencari referensi yang lebih lengkap lagi. Mengingat perkembangan teknologi yang kian pesat tiap tahunnya, bukan tidak mungkin kemudian makalah ini menjadi tidak relevan lagi karena perubahan teknologi yang semakin maju.








DAFTAR  PUSTAKA
Anonim. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Terumbu Karang (Coral Reef).http://www.ubb.ac.id (1 Oktober 2013 pukul 14.25 WIB)
Anonim. 2012. http://nikitakelautan2010.wordpress.com/2012/04/01/ekosistem terumbu-karang/. Htm, ( 4 oktober 2013 pukul 09.24 WIB)
Hutan Mangrove. (a.n). [online]. http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbsmangrove.htm. (Rabu, 9 November 2011)
Hutan Bakau Hutan Mangrove; Definisi dan Fungsi. (alamendah). [online].http://alamendah.files.wordpress.com (Rabu, 9 November 2011)
Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove. (a.n). [online]. http://ekologihutan.blogspot.com (Rabu, 9 November 2011)
Hutan Mangrove Indonesia, Sumber Daya Alam Yang Terlupakan. (a.n). [online]. http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/05/hutan-mangrove-indonesia-sumber-daya.html (Rabu, 9 November 2011)
Hutan Mangrove dan Luasannya di Indonesia. (a.n). [online].http://mbojo.files.wordpress.com (Rabu, 9 November 2011)


Untuk Informasi Lebih Lengkap dan utuh silahkan kunjungi situs yang telah kami tampilkan di atas...

terimakasih !



Tidak ada komentar:

Posting Komentar